Selasa, 29 Oktober 2024

RESENSI BUKU SEJARAH : Penghancuran Buku Dari Masa Ke Masa


Penghancuran Buku Dari Masa Ke Masa
—Fernando Baez—




I. IDENTITAS BUKU


Judul buku : Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa

Pengarang : Fernando Baez

Penerjemah : Lita Soerjadinata, Alfred J. Mac Adam

Penerbit :Marjin Kiri

Tahun Terbit : 2017

ISBN : 9789791260688

Halaman : 373 halaman


II. SINOPSIS


Fernando Báez, seorang pakar perbukuan dan perpustakaan asal Venezuela, menyaksikan secara langsung penghancuran peradaban melalui pembakaran buku dan perusakan museum saat pasukan Amerika Serikat menggempur Bagdad pada Mei 2003. Terhantui oleh pertanyaan "Mengapa manusia menghancurkan buku?", Báez menyusun kajian ilmiah tentang penghancuran buku yang telah berlangsung selama 55 abad. Berbeda dengan telaah ilmiah tentang asal usul buku, kajian global pertama ini mengungkap bahwa bibliosida (penghancuran buku) bukan disebabkan oleh ketidaktahuan atau kurangnya pendidikan, melainkan dilakukan oleh kaum terdidik dengan motif ideologis di berbagai peradaban dari masa ke masa.

“Buku-buku akan berakhir, tapi takkan ada orang yang tersisa untuk mengetahui nya. “. Orang-orang beranggapan buku telah kehilangan daya magisnya dan tidak lagi berarti di dunia global yang kini berisi jaringan teknologi seperti internet dan TV kabel. Menurut Baez, buku dan perpustakaan merupakan serangan melawan impunitas, melawan dogmatisme, melawan manipulasi dan melawan disinformasi, itu sebab nya para penguasa dan penindas merasa takut dan terusik yang berakhir melakukan penghancuran atau meluluhlantakkannya dan membuatnya tak bisa bisa diakses karena buku adalah parit-parit ingatan yang menjadi dasar keadilan dan demokrasi.

Bertentangan dengan pendapat umum, Baez menemukan bahwa buku-buku dihancurkan bukan oleh ketidaktahuan awam atau kurangnya pendidikan, melainkan justru oleh kaum terdidik dengan motif ideologis masing-masing.

Baez membuat buku dalam deretan fragmen-fragmen, anjurannya buku ini tidak perlu dibaca secara runut utuh depan-belakang; dengan begitu, buku ini dapat menjadi antologi dari berbagai kemungkinan yang bisa dibaca acak untuk mencari azimat yang kita semua butuhkan untuk melawan maut dan juga melawan lupa

III. PENDAHULUAN


Buku karya Fernando Báez yang berjudul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa memberikan banyak wawasan tentang pentingnya buku dalam perjalanan sejarah manusia. Diawali dengan pertanyaan yang menarik, “Mengapa orang menghancurkan buku?”, Báez menggali lebih dalam tentang bagaimana manusia punya kemampuan luar biasa untuk mengubah suara dan gerakan menjadi simbol-simbol abstrak.

Báez berpendapat bahwa buku adalah perpanjangan dari memori dan imajinasi manusia. Mengutip pandangan dari Jorge Luis Borges, dia mengatakan bahwa buku adalah alat yang paling menakjubkan dari semua yang pernah diciptakan manusia. Buku ini mengemas ingatan kita, mencatat pemikiran dan perasaan, dan menjadi tempat kita menyimpan pengalaman-pengalaman berharga.

Báez juga menekankan betapa pentingnya buku bagi budaya dan identitas masyarakat. Menurutnya, menghancurkan buku bukan hanya sekadar merusak benda fisik, tapi juga cara menghapus ingatan kolektif suatu kelompok. Perpustakaan dan arsip dianggap seperti “kuil kenangan” yang menjaga keberlanjutan budaya dan rasa kebersamaan dalam komunitas.

Fenomena penghancuran buku sering terjadi karena alasan yang rumit, seperti perbedaan ideologi politik atau agama. Báez menjelaskan bahwa dalam sejarah, negara atau kelompok yang ingin berkuasa biasanya mencoba menghilangkan jejak budaya musuhnya, seperti dalam praktik damnatio memoriaepada masa Romawi, di mana ingatan seseorang dihapus untuk mengendalikan identitas kelompok lawan.

Ia juga memperkenalkan istilah bibliosida untuk menggambarkan penghancuran buku sebagai usaha menghapus ingatan kolektif manusia. Báez menekankan bahwa alasan-alasan di balik tindakan ini sangat beragam dan kompleks. Buku dibakar atau perpustakaan dihancurkan, menyebabkan kehilangan yang jauh lebih dalam dari sekadar kehilangan fisik.

Pada akhirnya, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa mengajak kita untuk memahami pentingnya menjaga buku sebagai bagian dari jati diri manusia. Dengan gaya penulisan yang tajam dan pandangan yang bijak, Báez mengingatkan kita bahwa melestarikan buku berarti melestarikan ilmu, sejarah, dan nilai-nilai kemanusiaan yang berharga.

IV. ISI BUKU


BAB 1 : DUNIA KUNO

Pada bab pertama dari buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa berisi 9 sub-bab, Fernando Báez mengeksplorasi sejarah penghancuran buku yang sangat beragam, mulai dari Sumeria hingga Yunani Kuno. Ia menyoroti berbagai tema politik, agama, dan budaya yang mendasari tindakan pemusnahan ini, serta dampaknya bagi masyarakat. Perpustakaan di Sumeria dan Mesir Kuno menjadi simbol kerentanan pengetahuan terhadap konflik dan kekuasaan, di mana

tindakan penguasa seperti Firaun Akhenaton yang membakar kitab-kitab rahasia mencerminkan kebijakan represif yang dapat mengakibatkan hilangnya pengetahuan berharga. Menurut saya, hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan sering kali merasa terancam oleh pengetahuan, sehingga berusaha menghancurkannya untuk mempertahankan kontrol.

Kisah Penghancuran Buku Dari Masa Ke masa tidak berhenti di situ. Dalam sejarah Israel, Musa menghancurkan loh batu berisi hukum Tuhan setelah melihat kaumnya menyembah lembu emas, yang menunjukkan bahwa penindasan terhadap pengetahuan terus berulang. Pemberangusan naskah-naskah Buddha, hangusnya papirus di Herculaneum, dan hilangnya tulisan penganut Gnostik semakin mengilustrasikan penghancuran ini. Tragisnya, Hypatia, ilmuwan perempuan pertama, dibunuh karena penelitiannya yang dianggap mengancam, sementara hilangnya teks-teks berbahasa Yunani akibat pemaksaan penggunaan bahasa Latin menggambarkan dampak politik terhadap warisan budaya. Dari semua kisah ini, saya percaya bahwa penting bagi kita untuk melindungi dan menghargai pengetahuan, agar sejarah kelam ini tidak terulang kembali.
  • Kesimpulan dan Ulasan
Bab ini memberikan pandangan yang menarik tentang sejarah awal perpustakaan, khususnya di Mesir Kuno, dan bagaimana Ramses II membantu mengembangkan perpustakaan sakral. Báez juga memasukkan cerita-cerita mitos, seperti misteri Kitab Thot, yang menambah kesan magis pada sejarah. Bab ini menunjukkan bahwa dalam budaya Mesir, pengetahuan kadang dianggap begitu berbahaya sehingga perlu dihancurkan. Meski begitu, bab ini juga memiliki kekurangan, terutama karena terlalu banyak membahas mitos dan detail yang bisa membuat pembaca bingung membedakan mana yang fakta dan mana yang legenda.

BAB II : DARI BYZANTIUM HINGGA ABAD KE 19

Bab kedua dari buku karya Fernando Báez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, berisi 13 sub-bab mengulas secara detail tentang sejarah kelam perpustakaan di Eropa, di mana terdapat keterbatasan akses terhadap sastra dan ancaman kepunahan pengetahuan klasik. Báez memulai cerita dengan mengutip catatan Amianus Marcelinus tentang penutupan perpustakaan pada abad ke-4, di mana hanya bangsawan dan biarawan yang bisa membaca dan menulis. Di tengah kesulitan tersebut, Cassiodorus berjuang keras untuk menjaga keberlangsungan warisan sastra dengan mendirikan biara Vivarium sebagai pusat pembelajaran dan perpustakaan, meskipun koleksinya masih berisiko diserang. Bab ini juga menjelaskan usaha biarawan Irlandia seperti Santo Patrick dan Columcille dalam melestarikan naskah-naskah Latin dan Celtic melalui seni menyalin, termasuk penciptaan Kitab Kells yang terkenal. Meskipun demikian, penyerangan Viking pada abad ke-9 menimbulkan kerusakan yang besar, menghancurkan banyak biara dan perpustakaan sehingga menyisakan buku-buku berharga sebagai reruntuhan.

Kemudian, Báez membicarakan peran Charlemagne dalam mendirikan perpustakaan dan sekolah di Eropa pada zaman Carolingia, dengan bantuan cendekiawan Alcuin. Pada masa ini terjadi perkembangan sastra dan perkembangan gaya penulisan Carolingian minuscule. Walau begitu, meskipun telah ada perkembangan, perpustakaan masih rentan terhadap kerusakan, seperti yang terjadi di Fulda dan Monte Cassino, terutama selama Perang Dunia II. Praktik palimpsest bisa menjadi masalah, dimana banyak teks klasik dihapus untuk menulis risalah agama, sehingga karya-karya berharga hilang. Sebagai contoh menonjol adalah di Bobbio, di mana para biarawan menghapus De Republica karya Cicero untuk digantikan dengan komentar kitab Mazmur. Dalam waktu belakangan, hanya dapat dipulihkan menggunakan metode kimia.

Kemudian, Báez menjelaskan peran penting para pelindung buku di Abad Pertengahan, seperti Vincente dari Zaragoza yang rela berkorban untuk melindungi literatur, dan Wiborada yang menyembunyikan koleksi perpustakaan Saint Gall sebelum serangan Magyar. Dalam pandangan yang lebih umum, bagian ini juga menekankan pentingnya Islam dalam melestarikan pengetahuan, di mana tulisan-tulisan Yunani diterjemahkan selama Dinasti Abbasiyah, terutama oleh Khalifah Al-Ma'mun yang mendirikan Darul Hikmah di Baghdad. Sayangnya, meskipun ada usaha untuk membangun perpustakaan besar di Al-Qahirah pada zaman Dinasti Fatimiyyah, perpustakaan itu juga hancur dalam invasi Turki. Dalam bab ini, Báez menunjukkan bahwa usaha untuk melindungi buku sering kali tidak berhasil karena terjadi penaklukan dan konflik yang berlangsung terus-menerus. Di akhir bab, Báez mencatat rangkaian tragedi yang menimpa perpustakaan dan pemikir besar sepanjang sejarah. Perpustakaan Zahiriya di Damaskus hancur selama Perang Salib, sementara Perpustakaan Bokhara yang terkenal di Iran juga rusak. Báez menjelaskan tentang tantangan yang dihadapi oleh para filsuf seperti Pierre Abelard dan Yohanes Scotus Erigena, dimana Abelard dihukum oleh Gereja dan buku Erigena dibakar di depan umum karena dianggap sesat. Selain risiko fisik, pembakaran buku juga mencerminkan pertentangan ideologis, yang menunjukkan bahwa pemikiran kritis seringkali berisiko dan mengancam para filsuf. Dalam cerita ini, Báez menyoroti bagaimana pengabaian terhadap literatur selalu mengancam, baik melalui perang maupun keputusan sederhana individu.
  • Kesimpulan dan Ulasan
Pada bab ini menegaskan sejarah menarik tentang kesulitan yang dihadapi pelindung buku di Eropa, dengan menggunakan narasi menarik yang membawa pembaca melalui tokoh dan peristiwa penting pada masa lalu. Báez berhasil menggambarkan karakter-karakter seperti Cassiodorus, Vincente dari Zaragoza, dan Alcuin dengan cara yang menampilkan sisi manusiawi dalam perjuangan melawan kehancuran literatur. Di samping itu, menyertakan konteks global, seperti usaha pelestarian pengetahuan dalam dunia Islam di zaman Dinasti Abbasiyah, menunjukkan betapa pentingnya pertukaran intelektual antar peradaban. Namun, sulitnya mencerna bahasa yang rumit dan informasi yang terlalu padat bisa membuat pembaca kesulitan, terutama bagi yang kurang menguasai sejarah atau sastra. Oleh karena itu, diperlukan penjelasan yang lebih terstruktur untuk memudahkan pemahaman.

BAB III : DARI ABAD KE-20 HINGGA SEKARANG

Pada bagian ketiga yang terdiri dari 9 sub-bagian, Baez mulai ceritanya dengan pengalaman pribadinya mencari karya Miguel de Unamuno di sebuah toko buku tua di Madrid, yang mengarah pembaca pada pemikiran yang mendalam tentang bagaimana kekuatan besar berusaha untuk menghentikan suara-suara yang tidak diinginkan. Toko buku yang ditinggalkan menjadi lambang banyak karya yang lenyap dalam sejarah. Bagian ketiga dari buku ini menceritakan tentang jenis-jenis sensor yang terjadi di era modern, dengan penekanan pada tokoh-tokoh utama dalam pemusnahan karya sastra. Salah satu contohnya adalah Anthony Comstock, seorang moralis yang berpengaruh di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Comstock mendirikan New York Society for the Suppression of Vice dan berhasil memperoleh dukungan untuk menyetujui UU Comstock, yang melarang pengiriman materi yang dianggap tidak senonoh. Dampaknya, banyak buku dan majalah yang harus disensor, termasuk karya-karya dari penulis terkenal seperti George Bernard Shaw. Ironisnya, walaupun Amerika Serikat mengutuk tindakan Nazi membakar buku, mereka juga melakukan hal yang sama terhadap karya-karya yang tidak sejalan dengan nilai-nilai mereka.

Baez juga menceritakan dua peristiwa penting yang menunjukkan kehancuran kekayaan budaya dan intelektual: kebakaran Perpustakaan Han Lin Yuan di Tiongkok pada tahun 1900, yang menghilangkan ribuan karya klasik, dan tindakan represif rezim Franco di Spanyol setelah Perang Saudara, yang menyasar penulis dan pemikir dengan menyita dan membakar ribuan buku. Kedua contoh tersebut menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa merusak dan menghancurkan warisan intelektual demi kepentingan politik dan ideologi. Selain itu, penulis juga menekankan ancaman terorisme terhadap perpustakaan dalam era modern, di mana usaha penghancuran pengetahuan tidak hanya dilakukan oleh pemerintahan otoriter, tetapi juga oleh individu atau kelompok ekstremis. Kisah Salman Rushdie dan fatwa yang dikeluarkan oleh Ayatollah Khomeini terhadap novel "The Satanic Verses" menjadi contoh jelas bagaimana sensor dan respons ekstrem terhadap karya sastra bisa merugikan keselamatan penulis.
  • Kesimpulan dan Ulasan
Dalam Bab ketiga buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa karya Fernando Baez, dijelaskan bahwa penghancuran buku seringkali terjadi akibat kebencian etnis, agama, serta tindakan sensor yang tersebar di berbagai negara. Melalui contoh-contoh sejarah dan kasus kontemporer, Baez menunjukkan dampak kekuasaan dan ideologi terhadap hilangnya warisan budaya yang sangat berharga. Dia juga menekankan bahaya dari tindakan manusia maupun kekuatan alam terhadap buku, yang memperlihatkan pentingnya untuk melindungi pengetahuan dan warisan budaya.
Salah satu keunggulan dari bagian ini adalah beragam contoh yang disajikan, mulai dari kebakaran Perpustakaan Han Lin Yuan hingga penghancuran oleh kebencian etnis di Sri Lanka. Ini membantu pembaca memahami akibat yang luas dari pemusnahan buku. Terlebih lagi, topik yang dibahas, seperti terorisme dan sensor, tetap relevan dengan situasi sosial dan politik saat ini. Namun, terdapat kelemahan dalam cara penyampaian cerita yang kadang terasa kurang emosional. Walaupun Baez memberikan contoh yang kuat, cerita ini dapat memberatkan pembaca dan mengurangi ruang untuk memikirkan hal-hal positif.

V. EVALUASI SECARA KESELURUHAN


Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa karya Fernando Báez membahas betapa pentingnya buku sebagai simbol pengetahuan, kebebasan, dan keadilan dalam sejarah manusia. Báez menjelaskan bahwa penghancuran buku adalah tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menghilangkan ingatan kolektif demi kepentingan ideologis tertentu, mulai dari zaman kuno hingga masa modern. Pendekatan sejarah yang komprehensif dan perspektif global dari buku ini mengajak pembaca untuk memahami dampak penghancuran buku terhadap kebudayaan dan identitas masyarakat. Báez juga menekankan pentingnya buku dalam melawan keyakinan kuno dan informasi salah, menunjukkan perlunya melindungi karya sastra sebagai bagian dari warisan intelektual global.
Namun, terdapat kekurangan yang perlu diingat mengenai buku ini. Istilah yang sulit dan kalimat rumit sering membuat orang yang bukan pakar kesulitan memahami konten buku. Alur yang padat dengan informasi sejarah yang mendalam bisa membuat bingung dan memerlukan pemahaman dasar tentang sejarah buku dan perpustakaan. Secara umum, bagi pembaca yang tertarik pada sejarah bibliosida, buku ini sangat berharga dan memberikan wawasan yang mendalam. Namun, dengan menambahkan unsur naratif yang lebih emosional dan menyederhanakan penyampaian, buku ini mungkin akan lebih menarik bagi pembaca umum.



RESENSI BUKU SEJARAH : Penghancuran Buku Dari Masa Ke Masa

Penghancuran Buku Dari Masa Ke Masa —Fernando Baez— I. IDENTITAS BUKU Judul buku : Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa Pengarang : Fernando ...